
Teologi Anti Korupsi
PAM WIYUNG – Surabaya, Korupsi sesungguhnya penyakit iman atau penyakit akidah yang sangat berbahaya, karena etika melakukan korupsi, pelakunya hilang keimanannya kepada Allah SWT.
Bukan hanya menurun iman, tetapi “tekor” bahkan sirna dari dalam hatinya. Sekiranya di dalam hati Mukmin itu ada iman yang kuat, niscaya ia terus merasa “dimonitor”, diawasi, dan dievaluasi oleh Allah yang Maha Hadir dalam setiap detak nafasnya.
Jika Allah diyakini selalu hadir dan melihat isi hati (niat korupsi), pikiran (rencana dan strategi melakukan korupsi, misalnya secara berjamaah), dan perbuatan korupsinya, niscaya yang bersangkutan akan takut kepada Allah, takut bagaimana kelak mempertanggungjawabkannya di akhirat, dan takut akan azabnya yang super pedih.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW pernah menegaskan dalam sebuah Haditsnya bahwa :
“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencurian (korupsi) dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan kata lain, korupsi itu dilakukan, antara lain, karena pelakunya mengalami zero akidah, keimanannya nihil, teologinya gagal berfungsi membentengi diri dan nafsu sera kahnya untuk berkorupsi.
Jika “kanker korupsi” dinilai sebagai penyakit teologis, maka obat yangdiperlukan bagi bangsa ini adalah teologi antikorupsi.
Sebuah akidah tauhid yang benar-benar mengakar dan mendarah daging dalam diri Mukmin bahwa Allah itu Maha Hadir, mengawasi, dan merekam seluruh jejak kehidupan kita, mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur.
Teologi antikorupsi pada intinya adalah sebuah keyakinan dalam diri Mukmin yang ikhlas, murni, genuine, dan otentik karena mengharap ridla-Nya.
Tampaknya kita perlu belajar teologi antikorupsi dari kisah Abdullah ibn Umar bin al-Khattab saat menguji iman penggembala kecil di padang pasir.
“Nak, bolehkah aku beli seekor domba darimur Pinta Abdullah.
“Tidak tuan, ini bukan dombaku,” jawab anak itu.
Abdullah terus merayu, “Majikanmu pasti tidak tahu. Kalau pun majikanmu tahu bahwa domba berkurang satu, engkau kan bisa mengatakan kepadanya, bahwa domba yang satu itu dimakan serigala atau terpeleset dari bebatuan lalu mati.”
Abdullah tercengang dan tersentak hatinya ketika sang anak itu menyatakan, “jika sang majikan tidak mengetahuinya, Faina Allah?” (Lalu di manakah Allah?).
Kisah tersebut menginspirasi kita semua bahwa teologi antikorupsi adalah teologi yang memerdekakan diri kita dari segala bentuk perbudakan, terutama hawa nafsu, serakah, tamat, loba, mental ingin cepat kaya tetapi malas bekerja keras dan halal.
Teologi antikorupsi idealnya meniscayakan kemerdekaan manusia dalam bertauhid, dalam arti hanya Allah semata yang disembah, dimintai petunjuk dan pertolongan, ditakuti, dan menjadi orientasi dalam hidup ini.
Merdeka dalam bertauhid membuat orang tidak mudah diperbudak oleh ideologi, kepentingan politik, kepentingan partai, maupun kekuatan dan kekuasaan duniawi yang menipu dan menyesatkan.
Jadi, teologi antikorupsi sejatinya merupakan sistem bertauhid yang membuat orang merasa takut berdosa jika menyalahgunakan amanah jabatan.
Berusaha menjadi yang terbaik dalam melaksanakan tugas karena Allah Maha Mengawasi kinerjanya. Mukmin yang berteologi antikorupsi memang harus merdeka dalam bertauhid agar kita tidak dijajah lagi oleh hawa nafsu, syahwat politik, syahwat jabatan, dan syahwat korupsi.
Tauhid yang murni adalah tauhid yang memerdekakan diri kita dari segala bentuk penjajahan duniawi.
Jadi, teologi antikorupsi yang dilandasi tauhid yang murni mesti menyinari, mencerahkan, dan menutrisi hati yang bertauhid itu, sehingga berniat atau berpikir untuk korupsi saja enggan, apalagi sampai melakukannya,
meskipun peluang untuk itu terbuka lebar lantaran menggenggam jabatan dan kekuasaan. Kita semua merindukan para pemimpin yang dapat menjadi teladan terbaik dalam merasakan kehadiran Allah dalam mengurus negara, bangsa, dan melayani masyarakat.
Jika negara ini benar-benar diurus dengan kecerdasan teologis, spiritual dan moral, dan kesadaran akan pentingnya “menghadirkan Allah”, maka teologi antikorupsi itu akan menghiasi moralitas mereka, dan pada gilirannya mereka akan selalu merasa takut berbuat salah, enggan korupsi, anti penyelewengan, dan berperilaku yang tidak bermoral. Wallahu a’lam bi ash-shawabl
Oleh : Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ