skip to Main Content
Subuh Berkualitas : Meneladani Sikap Tabayyun Rasulullah

Subuh Berkualitas : Meneladani Sikap Tabayyun Rasulullah

PAM WIYUNG – Surabaya, Kita sebagai umat muslim pasti sering mendapat pelajaran tentang kisah Rasulullah nabi Muhammad SAW. Dari beliau dilahirkan, dibesarkan oleh pamannya abu thalib, hingga diangkat kenabiannya oleh Allah SWT. Banyak sekali hikmah yang dapat kita petik dari kisah nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan pasti terdapat lika-liku dari

Hari ini banyak rumor yang beredar tentang berita yang menarik namun belum diketahui kebenaran atas bertita tersebut. Sebagai penikmat berita tentunya kita wajib memfilter atau memilah bacaan berita yang kita dapatkan guna menemukan kebenaran atas berita tersebut. Didalam ajaran islam hal itu disebut tabayyun.

Didalam wikipedia dijelaskan Tabayyun menurut bahasa adalah telitilah dulu. Kata tersebut dapat dilihat pada surat Al-Hujurat (49:6). Dalam ayat tersebut dijelaskan:” jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”. (Wikipedia.org)

Di zaman sekarang ini banyak orang yang mudah terprovokasi serta tersulut emosinya karena suatu persoalan tanpa tau bagaimana akar dan sumber asalahnya. Maka dari itu, bertabayyun atau menelaah suatu permasalahan sangat penting untung dilakukan agar tidak terjadi perpecahan.

Lalu bagaimana cara Rasullah SAW mencari atau menelaah sebuah masalah?

Dilansir dari kumparan.com dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melarang seorang sahabat bernama Mu’az bin Jabal yang hendak buru-buru menyebarkan sebuah hadis. Rasul khawatir hadis tersebut disalahpahami oleh Masyarakat, terutama yang belum cukup ilmunya. Hadis yang akan disebar oleh Mu’az adalah yang berbunyi, “Tidaklah (ada ketentuan kepada, red) seseorang yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah mengharamkan baginya api neraka”.

Rasul khawatir hadis tersebut akan disalahartikan jika terburu-buru disebarkan kepada Masyarakat. “Wahai Rasul, tidakkah aku sebaiknya menyebarkan hadis ini kepada umat agar mereka bergembira?” tanya Mu’az tak mengerti. “Jika demikian, maka mereka hanya akan mengandalkan hadis tersebut saja,” jawab Rasul sebagaimana direkam dalam HR. Muslim.

Beberapa ulama menjelaskan maksud jawaban Rasul ini dengan menyebut bahwa rasul khawatir umat hanya akan mengandalkan kesaksian terhadap Ketuhanan Allah dan Kerasulan Muhammad saja sebagai satu-satunya bekal untuk terhindar dari api neraka, lalu mereka mengabaikan ibadah dan berbuat baik. Kisah di atas mengajarkan pentingnya melakukan tabayyun, bukan saja terhadap kebenaran sebuah informasi, tetapi juga kesiapan orang yang akan menerima informasi tersebut. Bagi orang-orang yang belum cukup matang keilmuannya, sesuatu yang sederhana justru dapat menjadi awal dari bencana.

Itu sebabnya, Sayyidina Ali pernah berkata, “andai orang yang tak berilmu mau diam sejenak, niscaya gugur perselisihan yang banyak.” Untuk informasi yang baik saja, Rasul memberi teladan agar kita tetap berhati-hati untuk menyebarkannya, apalagi untuk informasi yang belum tentu baik. Untuk ini, rasul telah memperingatkan, “Janganlah kamu menceritakan sesuatu kepada suatu kaum sedang akal mereka tidak mampu menerimanya. Karena cerita tersebut (justru dapat) menimbulkan fitnah pada sebagian dari mereka.” (HR. Muslim).

Sementara untuk pencari ilmu, biasakan untuk konfirmasi tiap kali mendapat informasi. Pahami dan resapi makna dari informasi yang diterima sebelum diteruskan kepada banyak orang lainnya.

Tak semua informasi yang diterima layak atau boleh disebarkan, beberapa ulama bahkan mengharamkan perilaku yang demikian. Ada tiga saring yang perlu diberlakukan pada setiap informasi yang diterima, yakni: benar, baik dan bermanfaat. Apakah informasi yang diterima benar? Apakah informasi yang diterima (walaupun ternyata benar) baik untuk disebarkan? Dan terakhir, apakah informasi tersebut bermanfaat untuk kebaikan?

Jika informasi tak lolos di tiga saring tersebut, sudahlah. Maka tak usah disaring. “Cukuplah seseorang itu dinyatakan berbohong jika dia menceritakan semua yang ia dengar” (HR. Muslim), demikian ungkap Rasul. Dengan ungkapan itu Rasul , sepertinya sedang menyindir kebiasaan sebagian dari kita yang gemar terburu-buru menyebarkan informasi yang baru saja didapat, tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu, tanpa melakukan saring terlebih dulu. Serba terburu-buru.

Itulah pembahasan tentang bagaimana Rasulullah menelaah , mencari informasi atau menabayyunkan suatu hal. Memang, di zaman yang modern ini kita tidak bisa mencari serta menerima informasi yang acak secara langsung lalu disebarkan tanpa difilter atau ditelaah terlebih dahulu. Selain akan menyesatkan diri sendiri karena informasi hoax tersebut, kita juga dapat menjerumuskan orang lain karena informasi yang kemudian kita sebarkan itu salah. Semoga kita menjadi orang yang lebih berhati-hati lagi, semoga bermanfaat, Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top