skip to Main Content
Penggerak Dari Surabaya Kiai Haji Mas Mansoer

Penggerak Dari Surabaya Kiai Haji Mas Mansoer

PAM WIYUNG – Surabaya, Banyak sekali tokoh pahlawan nasional yang dapat kita pelajari dan teladani kisah hidupnya. Mulai dari seorang kartini yang ingin mencerdaskan dan mengangkat emansipasi wanita, hingga presiden pertama indonesia Ir. Soekarno yang merupakan sosok yang dapat menyatukan suara rakyat indonesia. Namun saat ini kita tidak membahas tokoh-tokoh tersebut, namun mengulik sosok pahlawan asal surabaya.

Kiai Haji Mas Mansoer lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 dan wafat di Surabaya, 25 April 1946 ketika berumur 49 tahun, beliau merupakan seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia. berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura juga terkenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada saat itu.

Pendidikan yang dienyam beliau selain belajar agama pada ayahnya sendiri juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Hingga pada akhirnya beliau menunaikan haji dan memutuskan untuk studi di mesir.

Berikut merupakan fakta menarik seputar perjalanan kiai Haji Mas Mansoer:

Bergabung Dengan Sarekat Islam

Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi.

Pada saat itu dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasihat Pengurus Besar SI.

Menbentuk Lembaga Diskusi Pendidikan

Juga membuat lembaga diskusi yang bernama Taswir Al-Afkar yang bertujuan agar masyarakat tidak kolot dalam berpikir, dan hal ini membuat banyak orang tertarik untuk bergabung dalam lembaga tersebut. Tidak lama kemudian dalam lembaga tersebut melahirkan gerakan di bidang pendidikan yang bernama Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air).

Merintis Majalah

Beliau banyak menghasilkan tulisan-tulisan berbobot. Pikiran-pikiran pembaruannya banyak termuat di media massa. Majalah terbitan pertama bernama Suara Santri. Beliau menggunakan nama kata santri sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata tersebut menjadi kegemaran masyarakat. Oleh karena itu, majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang.

Majalah Jinem, adalah majalah kedua yang beliau terbitkan. Majalah ini terbit dua kali sebulan, menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon). Melalui majalah itu, Mas Mansoer mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, beliau pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.

Menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah

Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas beliau di Muhammadiyah memberikan angin segar dan memperkokoh kebaradaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaruan. Tangga-tangga perjuangan organisasi yang dilalui Mas Mansoer selalu dinaiki dengan mantap.

Setelah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansoer diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah di tahun 1937-1943. beliau dikukuhkan sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937.

Dikenal Sebagai Empat Serangkai

Beliau termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, di buku sejarah kita mengenal 4 serangkai yang berisi Soekarno, Moh Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansoer.

Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top