skip to Main Content
Mushaf Ustmani : Saat Al-Quran Dibukukan

Mushaf Ustmani : Saat Al-Quran Dibukukan

PAM WIYUNG –  Surabaya, Al-Quran adalah firman yang turun dari Allah SWT dan menjadi pedoman bagi seluruh umat muslim yang tersebar di dunia ini. Sebelum berbentuk buku/kitab hingga media elektronik, Alquran dulunya masih dalam bentuk hafalan hingga lembaran loh. Terus bagaimana sih awalmula alquran berbentuk mushaf (dibukukan)?

Sebagian ulama meyakini bahwa metode penyusunan Al-Quran sebenarnya sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad masih hidup. Selain mengajarkan bacaan dan pemahamannya, Rasulullah juga mengajarkan bagaimana letak ayat Al-Quran tersebut nantinya di dalam Al-Quran.

Hanya saja, pada saat itu, Al-Quran masih belum dibukukan menjadi kitab seperti sekarang ini.

Salah satu alasan mengapa Al-Quran tidak langsung dibukukan adalah karena wahyu masih belum selesai turun selama Nabi Muhammad masih hidup.

Sedangkan, jika penulisan Al-Quran langsung dilakukan, maka kitab Al-Quran akan terus mengalami perubahan karena adanya ayat atau wahyu baru yang datang. Karena itu, proses pembukuan ayat – ayat dalam Al-Quran tidak dilakukan.

Akan tetapi, ada beberapa sahabat yang memang ditugaskan secara khusus untuk mencatat setiap ayat atau wahyu yang turun. Yaitu Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Ubay bin Ka’ab.

Mereka menuliskan ayat al-Quran di berbagai media yang bisa digunakan saat itu. Mulai dari pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, hingga potongan tulang binatang.

Istilah mushaf dibentuk dari kata shahifah, yakni bentuk jamak dari kata “shaha’if”, “shuhuf”. Menurut Al-Jauhari dalam kitab Ash-Shihah fi al-Lughah, shahifah berarti al-kitab. Secara bahasa, shahifah bisa diartikan sebagai lembaran-lembaran tulisan.

Kata shuhuf dinyatakan delapan kali di delapan ayat Alquran, yaitu ada di dalam surah Thaha ayat 133, surah an-Najm ayat 36, surah al-Muddatstsir ayat 52, surah ‘Abasa ayat 13, surah at-Takwir ayat 10, surah al-A’la ayat 18 dan 19, dan surah al-Bayyinah ayat 2.

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, mushaf Utsmani adalah mushaf dari ayat-ayat Allah SWT yang dikumpulkan kaum Muslimin pada zaman khilafah atau pemerintahan sahabat Utsman bin Affan.

Mushaf Alquran tersebut dibakukan penulisannya pada tahun 25 Hijriyah atau 646 Masehi.

Pada masa kekuasaan Khalifah Utsman bin Affan, mushaf masih gundul, tidak berharakat atau tidak terdapat tanda baca. Untuk menghindarkan dari kesalahan baca.

Lalu ahli bahasa, Abu Al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Dhu’ali, merumuskan tanda harakat dan titik atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. (Ensiklopedi Islam Jilid 4).

Dalam hal bacaan, orang yang mula-mula menaruh perhatian terhadap kemungkinan pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat Islam adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan tersebut kemudian disampaikan kepada Khalifah Utsman agar mendapatkan penyelesaian.

Langkah awal yang dilakukan Khalifah Utsman adalah meminta kumpulan naskah Alquran yang disimpan Hafsah binti Umar, yaitu kumpulan tulisan yang berserakan pada zaman pemerintahan Abu Bakar. (Ensiklopedi Islam Jilid 5, hlm 142).

Khalifah Utsman kemudian membentuk suatu badan atau panitia yang diketuai Zaid bin Sabit, sedangkan anggotanya adalah Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris. Tugas yang harus dilaksanakan oleh tim tersebut adalah membukukan lembaran-lembaran yang lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat Alquran ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf.

Dalam pelaksanaannya, Khalifah Utsman menginstruksikan agar penyalinan tersebut harus berpedoman kepada bacaan mereka yang menghafalkan Alquran. Seandainya terdapat perbedaan dalam pembacaan, yang ditulis adalah yang berdialek Quraisy.

Sebab, Alquran diturunkan dalam bahasa Quraisy. Bahasa Quraisy merupakan bahasa yang paling mulia, bahasa yang digunakan oleh Rasulullah SAW, bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya.

Salinan kumpulan Alquran yang dikenal dengan nama Al-Mushaf, oleh panitia tersebut diperbanyak sejumlah lima buah. Empat naskah dibawa ke Makkah, Suriah, Basra, dan Kufah. Sementara, satu naskah lagi tetap berada di Madinah yang disebut mushaf Al-Imam.

Tujuan awal pengumpulan Alquran tersebut, yaitu untuk mempersatukan semua umat Islam yang sempat terpecah belah karena adanya perbedaan dalam pembacaan Alquran.

Khalifah Utsman juga memerintahkan kepada semua gubernurnya untuk segera menghancurkan semua mushaf yang ada di tengah-tengah masyarakat dan digantikan dengan mushaf yang kini disebut mushaf Utsmani tersebut.

Sejak saat itu, kaum Muslimin bersatu di atas satu mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani dirumuskan dengan nukilan yang mutawatir, sehingga tidak ada perbedaan atau perselisihan sedikit pun dalam nukilan tersebut.

Mushaf Alquran yang disebut sebagai mushaf Utsmani akan tetap terpelihara di atas pemeliharaan Allah SWT sampai hari kiamat.

Sumber : https://republika.co.id/berita/pnu20l313/sejarah-mushaf-utsmani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top