skip to Main Content
Mengulang Tajdid : Dakwah Islam Yang Ramah Perempuan | Mas Mansyur Edisi #71

Mengulang Tajdid : Dakwah Islam Yang Ramah Perempuan | Mas Mansyur Edisi #71

PAM WIYUNG – Surabaya, Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia merupakan kenyataan yang sulit dibantah hingga sekarang. Pada masa awal berdirinya.

Gerakan Islam modernisyang dirintis Ahmad Dahlan dari Yogyakarta telah merobohkan banyak tembok kejumudan dan pembodohan umat. Di balik itu semua, Muhammadiyah juga harus dicatat sebagai gerakan Islam pertama di dunia yang mendorong lahirnya gerakan kaum perempuan Islam.

Dengan berbagai upayanya melalui kelompok pengajian kecil yang bernama “Sapa Tresna” akhirnya pada tahun 1917, lima tahun setelah Muhammadiyah lahir, Muhammadiyah berhasil mendirikan Aisyiyah.

Apa yang dilakukan Kiai Dahlan dengan Muhammadiyahya saat itu dapat dikatakan sebagai ijtihad yang luar biasa. Kiai Dahlan mendorong kaum perempuan Islam untuk belajar naik sepeda dan belajar ke luar kampungnya.

Sebuah anjuran yang (saat itu) harus dikatakan sebagai bentuk anjuran yang melawan keumuman umat. Apapun anggapan umat saat itu, Dahlan dan Muhammadiyahnya tidak pernah bisa dibendung. Naisbitt boleh memperkenalkan tesis abad 21 sebagai abad wanita,

namun sebelum gagasan Naisbitt itu lahir, Kiai Dahlan sudah melakukan aksi paling radikal sekaligus mendasar yaitu menggerakkan kaum perempuan untuk masuk ke ruang publik dan melakukan kegiatan-kegiatan non-domestik.

Waktu itu (di awal abad ke-20) seseorang yang sekadar berfikir tentang peran publik perempuan saja sudah bisa dihukum pancung. Namun, Kiai Dahlan justru menggerakkan perempuan keluar rumah,

bergaul dengan beragam orang yang bukan muhrim, untuk mencari dan menyebarkan ilmu, bekerja di wilayah yang oleh publik umat dipandang haram, bepergian jauh dari tempat tinggalnya, melewati waktu menembus siang atau malam. (A. Munir Mulkhan; 2010).

Walau arus pembaruan Islam yang dirintis oleh Muhammadiyah dan Kiai Dahlan itu saat ini telah menjadi budaya umum umat Islam masa sekarang. Sebagian umat Islam sekarang ini kembali mempermasalahkannya.

Dengan dalih menghadang gerakan feminisme sekuler, kelompok ini mulai semakin gencar berkampanye di kalangan Muhammadiyah. Hal ini diakui oleh DR. H. Agung Danarto yang dalam suatu seminar mengungkapkan kalau sekarang ini memang ada upaya pencitraan atau domestifikasi peran perempuan terutama di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah.

Gerakan ini menurut Agung Danarto sering kembali mempopulerkan beberapa hadits yang mencitrakan peran perempuan di wilayah domestik. Termasuk Hadits yang melarang perempuan untuk shalat di masjid.

Sebagai misal, kelompok ini senang mengutip Hadits “Sebaik-baik shalat yang dilakukan bagi para perempuan adalah yang dilakukan di sudut ruangan rumah mereka.”

Sejarah Muhammadiyah (Kiai Dahlan) sebagai penganjur kebangkitan kaum perempuan Islam ini tampaknya ingin dihapus dari sejarah Muhammadiyah oleh sebagian mubaligh Muhammadiyah yang alergi pada gerakan perempuan.

Hal ini dapat dibaca di tulisan salah seorang wakil Ketua sebuah Majelis di sebuah majalah Islam yang mengulas Munas Tarjih Muhammadiyah ke-27 tahun 2010, terutama ketika membahas Fiqih Perempuan.

Seluruh gagasan yang sempat muncul yang beraroma untuk memperbaiki hak-hak perempuan, termasuk usulan yang memba has tentang prinsip pernikahan Islam yang monogami, dianggap sebagai upaya ghazwul fikri.

Menapak satu abad usia Muhammadiyah, jarum pembaruan Muhammadiyah khususnya dalam bidang memuliakan kaum perempuan ini tampaknya memasuki titik baliknya.

Di awal abad pertama Muhammadiyah Kiai Dahlan mendorong dan menyemangati kaum perempuan untuk  mengulang belajar naik sepeda agar bisa belajar ke luar rumah dan mengembangkan kariernya.

Di awal abad ke duanya ini ada sekelompok kecil mubaligh Muhammadiyah yang menginginkan kaum perempuan kembali ke rumah. Walaupun sekarang kelompok ini masih minoritas, namun kalau tidak diantisipasi, kelompok ini cukup mengganggu dan meresahkan kaum perempuan Muhammadiyah yang berkarier di luar rumah.

Permasalahannya apakah saat ini Muhammadiyah dan Aisyiyah sudah seutuhnya mendukung aktivitas kaum perempuan di luar rumah?

Apakah Muhammadiyah dan Aisyiyah sudah mewajibkan semua amal usahanya (yang mempekerjakan kaum perempuan) untuk melengkapi ruang peristirahatan bayi dan ruang menyusui, sehingga ibu-ibu yang menyusui dapat memberikan ASInya secara utuh dua tahun tanpa harus meninggalkan pekerjaannya?

Hal-hal dasar seperti ruang menyusui ini tampaknya harus segera diwujudkan di seluruh amal usaha Muhammadiyah dan Aisyiyah karena hal-hal dasar inilah yang sering dijadikan “senjata” kelompok anti perempuan bekerja untuk merumahkan seluruh kaum perempuan, sebagaimana kaum Taliban yang melarang perempuan menuntut ilmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top