
Jamak, Qasar dan Syarat Berlakunya
PAM WIYUNG – Surabaya, Menunaikan ibadah salat fardhu adalah kewajiban bagi seluruh umat muslim. Namun bagaimana jadinya kalau kita berhalangan menunaikan ibadah salat? apakah ada kortingan/rabat/diskon dalam menjalanlkan ibadah salat tersebut?
Islam merupakan agama yang memudahkan banyak urusan bagi umatnya dalam beribadah. Jika suatu perkara tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya karena suatu hal terdapat kemudahan untuk mengganti atau memperingan pekerjaanya, hal ini disebut rukhsah atau keringanan.
Urusan salat misalnya, dalam keadaan normal dilakukan secara berdiri dan jika dalam keadaan tertentu yang memaksa ia boleh dilakukan dengan duduk.
Dalam kondisi berpergian jauh (musafir) terdapat rukhsah salat untuk menggabung waktu salat atau jamak dan meringkas jumlah rakaat atau qasar. Akan tetapi banyak yang melakukanya dengan serampangan. Lalu bagaimanakah penggunaan jamak qasar sebenarnya?
Salat musafir adalah salat yang dilakukan oleh seseorang ketika sedang melakukan safar. Pengertian safar adalah suatu kondisi yang biasa dianggap orang itu safar, tidak bisa dibatasi oleh jarak tertentu atau waktu tertentu.
Orang yang melakukan perjalanan disebut musafir. Bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya tidak ingin memberatkan umat-Nya. Oleh karenanya, Islam mensyariatkan adanya rukhsah salat jamak dan salat qasar.
Salat jamak adalah mengumpulkan dua macam salat dalam satu waktu tertentu. Dua macam salat itu adalah salat Dzuhur dengan salat Ashar dan salat Maghrib dengan salat Isyak.
Sedangkan saalat qasar adalah memendekkan/meringkas jumlah rakaat pada salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu salat Dzuhur, Ashar dan Isyak
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ: وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. [رواه أحمد]
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara salat Dzuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan karena takut. Saya bertanya: Wahai Abu Abbas, mengapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya.” [HR. Ahmad]
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ. [متّفق عليه]
Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berangkat dalam bepergiannya sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan salat Dzuhur ke waktu salat Ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjamak dua salat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau salat dzuhur terlebih dahulu kemudian naik kendaraan.” [Muttafaq ‘Alaih]
Adapun dalil yang menerangkan tentang salat qasar adalah sebagai berikut:
1. Surat an-Nisaa’: 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qasar salatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْصُرُ فِى السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيُفْطِرُ وَيَصُومُ. [رواه الدّارقطني]
Artinya: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah tidak puasa dan puasa.” [HR. ad-Daruquthni]
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la bin Umayyah, ia berkata:
قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. [رواه مسلم]
Artinya: “Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul–Khaththab tentang (firman Allah): “Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashshalati in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru”. Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” [HR. Muslim]
Pelaksanaan salat jamak dan qashar itu tidak selalu menjadi satu paket (salat jamak sekaligus qashar). Seorang yang mengqashar salatnya karena musafir tidak mesti harus menjamak salatnya, demikian pula sebaliknya.
Seperti melakukan salat Dzuhur 2 rakaat pada waktunya dan salat Ashar 2 rakaat pada waktunya atau menjamak salat Dzuhur dan salat Ashar masing-masing 4 rakaat baik jamak taqdim maupun ta’khir. Diperbolehkan pula menjamak dan menqashar sekaligus.
Ada pendapat ulama mengenai seorang musafir tetapi dalam keadaan menetap tidak dalam perjalanan, seperti seorang yang berasal dari Indonesia bepergian ke Arab Saudi untuk berhaji, selama ia di sana ia boleh menqashar salatnya dengan tidak menjamaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika berada di Mina.
Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjamak dan menqashar salatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika berada di Tabuk.
Pada kasus ini, ketika dia dalam perjalanan lebih baik menjamak dan menqashar salat, karena yang demikian lebih ringan, tidak memberatkan di perjalanan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Namun ketika telah menetap di Arab Saudi lebih utama menqashar saja tanpa menjamaknya.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 02, 2014 dengan penyesuaian