skip to Main Content
Amanat Dari Uhud | Mas Mansyur Edisi #71

Amanat Dari Uhud | Mas Mansyur Edisi #71

PAM WIYUNG – Surabaya, Kala perang yang kedua itu Nabi terluka dan pasukan Muslimin tengah kehilangan kepercayaan diri akibat dipukul balik pasukan kafir yang tak terduga.

Nabi tak lama larut dalam situasi kritis, lalu berdiri tegak sambil mengacungkan sebilah pedang. “Man yahudu minni hadza?” Siapa yang sanggup mengambil pedang ini untuk menembus musuh.

Bangkitlah moral kaum Muslim, lantas berebut untuk mengambil pedang Nabi. Nabi tak serta merta menyerahkan pedang dalam momentum yang sangat krusial itu.

“Man yahudu minni bi-haqqihi?” Siapa yang berani mengambil dengan pertanggungjawaban yang tinggi? Lalu, majulah seorang Abu Dujanah mengambil pedang yang diamanatkan Rasulullah itu.

Dia lari ke tengah, menerobos pasukan koalisi Quraisy, bertarung dan mati syahid. Kesyahidan Abu Dujanah kemudian membangkitkan moral perjuangan kaum Muslimin, lalu bangkit memukul pasukan koalisi.

Dari sepenggal peristiwa di Uhud yang bersejarah itu, sesungguhnya dapat diambil pelajaran penting tentang sebuah amanah. Amanah dalam perjuangan yang harus ditunaikan, yang uji konsistensinya di kala kritis.

Bahwa amanah sebagai sebuah kepercayaan luhur dan utama dalam perjuangan Islam haruslah ditunaikan dengan penuh kesungguhan, bila perlu dengan berkorban jiwa dan raga.

Berjuang menunaikan amanah di kala duka dan serba keterbatasan, selain di kala suka dan serba ada. Dalam makna positif, ketika serba terbatas mampu berjuang dengan penuh amanah, lebih-lebih dalam keadaan serba berkecukupan.

Ujian amanah dan perjuangan menunaikannya justru ketika syarat dengan masalah, kendala, dan tantangan.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Demikian peringata n Allah dalam AI-Qur’an (Q.s. Al-Anfal 181: 27), sebagai pertanda tentang beratnya perjuangan menunaikan amanah.

Peringatan Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim itu merupakan pembongkaran kesadaran, betapa manusia sering lalai dengan amanat yang melekat dengan dirinya. Amanat sebagai kepercayaan yang melekat dalam diri, termasuk dalam mengemban misi Muhammadiyah.

Sering mudah diucapkan tetapi tidak gampang ditunaikan. Persis sama ketika banyak orang bicara lantang tentang keikhlasan dan mengajak untuk bersikap ikhlas, tetapi praktiknya tak semudah teorinya.

Mengajak orang untuk menerapkan hidup Islami tetapi hati, lisan, dan tindakan sehari-hari jauh panggang dari api. Telunjuk lurus ke depan, jari tengah dan kelingking sesungguhnya menohok diri sendiri.

Lisan manis beretorika tentang serba kebaikan, tapi menurut istilah Prof. Syafii Maarif, kata tak sejalan laku.

Niat awal ingin berkhidmat mengemban misi, berjanji untuk menjalankan tugas organisasi, setelah itu amanat surut tak tertunaikan seiring dengan berjalannya waktu.

Mobilitas tinggi memenuhi hasrat dan keperluan diri, sedangkan misi dan usaha organisasi sekadar formalisasi. Banyak orang ingin berebut jabatan, namun biasanya tidak banyak yang ringan hati untuk bertumpuk-lumus dalam menunaikan amanat, kecuali sekadarnya.

Sungguh, tak mudah beristiqamah dalam menunaikan amanat secara autentik. Lain janji, lain pula konsistensi.

Dari Uhud kita belajar tentang kekayaan ruhani dalam menjalankan amanat di kala kritis, bukan ketika normal. Dari perang yang penuh pertaruhan di abad ketiga Hijriyah itu juga kita dapat belajar tentang komitmen, imamah, dan ketaatan dalam perjuangan.

Bahwa perjuangan akan mengalami kekalahan manakala umat tidak lagi taat pada sistem dan pimpinan. Ketika komitmen pada misi mengalami pelonggaran dan penghianatan.

Lebih khusus lagi apabila ghanimah berupa materi dan kesenangan duniawi menjadi perburuan yang membelokan diri dari idealisme gerakan.

Oleh : Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. (Ketua Umum PP Muhammadiyah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back To Top